Kenikmatan individu bukanlah segala-galanya bagi seseorang. Banyak orang yang telah memperoleh segala macam kenikmatan secara individu, tetapi justru merasa kesepian dan gelisah. Entah, ia tidak tahu sebabnya.
Hartanya berlebih. Rumahnya lebih dari satu, mobil ada. Segalanya telah dia punya. Namun, ia tidak mengerti, kenapa di lubuk hatinya yang paling dalam ia tetap saja merasakan sebuah kegelisahan. Ia telah menyalahi sebagian fitrahnya. Selain sebagai makhluk individual yang mengejar segala kenikmatan untuk diri sendiri, sebenarnyalah manusia memiliki fitrah yang lebih tinggi, yaitu sebagai makhluk sosial.
Ia akan merasakan lebih bahagia, ketika hidup di dalam suatu komunitas tertentu. Dan, akan lebih bahagia lagi jika ia bisa saling memberi manfaat di dalamnya. Ia akan merasa hidupnya berguna. Dan kemudian, akan semakin berbahagia ketika memperoleh penghargaan dari komunitasnya...
Manusia butuh berekspresi kepada lingkungan sekitarnya. lni adalah fitrah. Seseorang yang tidak bisa mengekpresikan dirinya, ia bakal merasa gelisah dan tertekan. Hidupnya hampa. Tak berguna. Meskipun ia kaya.
Agar bisa berekspresi, seseorang butuh orang lain untuk mengapresiasi ekspresinya. la butuh respons. Bahkan pujian dan penghargaan. Itulah fitrah sosial seorang manusia.
Karena itu, kenapa seseorang butuh untuk hidup berpasang-pasangan, hidup berkeluarga, dan berketurunan, serta bermasyarakat. Karena sesungguhnyalah salah satu bentuk kebahagiaannya ada pada kehidupan sosial itu.
Cobalah perhatikan, mungkin ada kawan atau saudara kita yang mampu, tetapi ia tidak punya keluarga, saudara, atau siapa-siapa sebagai sahabat, maka sungguh hidupnya bakal kesepian, gelisah dan menderita. Kekayaannya yang sudah berlebih tidak akan berarti buatnya. Suatu ketika, ia akan mencapai puncak kejenuhannya. Dan kemudian merasa hampa dan tak berguna...
Fitrah sosial adalah fitrah yang bakal mengantarkan seseorang untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi. Lebih luas. Dan lebih banyak.
Sebagai ilustrasi, katakanlah soal kenikmatan makan. Bagi orang yang hidup secara individual, kenikmatan makan adalah ketika dia bisa makan enak sampai kenyang.
Akan tetapi seberapa banyak perut kita bisa menampung makanan? Jika kenyang sudah terlampaui, maka makanan itu pun sudah tidak terasa enak lagi. Ia pasti ingin berbagi kenikmatan makan itu dengan orang lain. Misalnya dengan cara menceritakan makanan enak itu kepada orang lain. Entah keluarganya. Entah saudaranya, atau sahabatnya.
Kebahagiaannya akan bertambah ketika orang-orang di sekitarnya ikut merasakan enaknya makanan tersebut, bukan hanya dikasih cerita. Kalau tadinya yang disebut nikmat adalah makan enak dan kenyang untuk diri sendiri, maka kini ia menjadi nikmat ketika bisa melihat orang lain makan enak dan kenyang seperti dirinya. Semakin banyak ia melihat orang lain senang karenanya, semakin senanglah ia. Semakin bahagialah dia.
Di sini kita melihat perbedaan yang sangat mendasar. Ternyata, kenikmatan individual itu demikian terbatas. Dalam contoh di atas - soal makanan - hanya sebatas isi perut. Begitu sudah terpenuhi, maka selesailah kenikmatannya. Mencoba mengejar lagi, mencari makanan yang lain, hasilnya sama saja. Ukurannya adalah kapasitas perut, dan barangkali rasa di lidah. Jika perut sudah penuh, dan lidah sudah berulangkali merasakannya, semuanya bakal selesai. Dan menjadi membosankan.
Contoh ini bisa kita perluas kepada berbagai parameter kenikmatan duniawi. Misalnya, pakaian, perhiasan, rumah, mobil, bahkan hubungan seks. Semua itu, ketika hanya diukur untuk kepentingan individu, kenikmatannya menjadi demikian terbatas.
Pakaian dan perhiasan misalnya. Beberapa lama kita pakai dan kita miliki, sudah bakal membosankan. Pingin ganti yang baru lagi. Namun, begitu kita punya yang baru pun, persoalannya bakal terulang lagi, kita pingin yang baru lagi. Demikian seterusnya.
Ini sama saja dengan rumah dan kendaraan. Awalnya sangatlah senang memiliki rumah yang bagus, atau kendaraan yang mewah. Akan tetapi itu tidak akan bertahan lama. Beberapa bulan atau tahun, semua itu sudah biasa lagi.
Begitulah manusia. Milik orang lain selalu lebih menggiurkan. Karena itu, kita selalu menginginkan apa saja yang belum kita miliki. Dan seringkali segera bosan dengan segala sesuatu yang telah berulangkali kita nikmati. Termasuk dalam urusan seksualitas.
Karena itu, kita harus memahami fenomena ini. Jangan sampai kita terjebak dalam lingkaran setan. Dan kemudian berputus asa dengan sendirinya. Kebahagiaan yang lebih tinggi adalah kebahagiaan yang bersifat sosial. Sumbernya lebih banyak, kualitas kenikmatannya lebih tinggi. Karena, bersumber pada orang lain dan oleh faktor-faktor yang bersifat psikis. Sedangkan pada kebahagiaan individual, sumbernya adalah diri sendiri, dan bersifat materialistik.
Kebahagiaan sosial ini akan semakin tinggi nilainya ketika diniatkan untuk menolong. Didorong oleh perasaan empati dan rasa kasihan kepada penderitaan orang lain.
Sebagai contoh, dalam hal makan. Jika kita memiliki kepedulian alias empati yang dalam kepada penderitaan orang lain, maka kita akan memiliki sumber kebahagiaan yang jauh lebih tinggi nilainya, sekaligus banyak sumbernya.
Kita akan merasa sangat bahagia ketika bisa menolong orang lain yang sedang kelaparan, misalnya. Semakin banyak memberi makan, maka semakin puas rasanya. Semakin bahagialah kita. Dalam hal berpakaian demikian pula, semakin banyak memberi pakaian kepada orang lain sehingga orang itu merasa bahagia, maka semakin bahagia pulalah kita.
Aneh juga ya rasanya. Kebahagiaan kita semakin besar bukan karena menyenangkan diri sendiri, melainkan justru ketika melihat orang lain bahagia karena pertolongan kita. Semakin banyak yang bahagia, semakin bahagia pula kita.
Begitulah memang kebahagiaan sosial terjadi. lni adalah anugerah yang sangat besar dan bernilai tinggi yang diberikan Allah kepada manusia. Karena fitrah yang seperti inilah maka kelangsungan hidup manusia bisa terjaga dengan baik.
Bayangkan, jika manusia sama sekali tidak memiliki fitrah sosial, maka kehidupan manusia bakal musnah lebih cepat dari sekarang, karena nafsu saling menghancurkan. Semuanya berebut untuk kebahagiaan individualnya. Tak ada yang berpikir untuk kebahagiaan bersama. Apa jadinya?
Untungnya Allah memberikan kenikmatan di dalam jiwa sosial kita. Sebagaimana Allah juga menjadikan kenikmatan di dalam jiwa individual. Tinggal, bisakah kita melihat, memahami dan kemudian melakukan aktivitas sosial itu sehingga memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi dalam kehidupan. Sekaligus menciptakan kebahagiaan kolektif dalam keseimbangan.
Hartanya berlebih. Rumahnya lebih dari satu, mobil ada. Segalanya telah dia punya. Namun, ia tidak mengerti, kenapa di lubuk hatinya yang paling dalam ia tetap saja merasakan sebuah kegelisahan. Ia telah menyalahi sebagian fitrahnya. Selain sebagai makhluk individual yang mengejar segala kenikmatan untuk diri sendiri, sebenarnyalah manusia memiliki fitrah yang lebih tinggi, yaitu sebagai makhluk sosial.
Ia akan merasakan lebih bahagia, ketika hidup di dalam suatu komunitas tertentu. Dan, akan lebih bahagia lagi jika ia bisa saling memberi manfaat di dalamnya. Ia akan merasa hidupnya berguna. Dan kemudian, akan semakin berbahagia ketika memperoleh penghargaan dari komunitasnya...
Manusia butuh berekspresi kepada lingkungan sekitarnya. lni adalah fitrah. Seseorang yang tidak bisa mengekpresikan dirinya, ia bakal merasa gelisah dan tertekan. Hidupnya hampa. Tak berguna. Meskipun ia kaya.
Agar bisa berekspresi, seseorang butuh orang lain untuk mengapresiasi ekspresinya. la butuh respons. Bahkan pujian dan penghargaan. Itulah fitrah sosial seorang manusia.
Karena itu, kenapa seseorang butuh untuk hidup berpasang-pasangan, hidup berkeluarga, dan berketurunan, serta bermasyarakat. Karena sesungguhnyalah salah satu bentuk kebahagiaannya ada pada kehidupan sosial itu.
Cobalah perhatikan, mungkin ada kawan atau saudara kita yang mampu, tetapi ia tidak punya keluarga, saudara, atau siapa-siapa sebagai sahabat, maka sungguh hidupnya bakal kesepian, gelisah dan menderita. Kekayaannya yang sudah berlebih tidak akan berarti buatnya. Suatu ketika, ia akan mencapai puncak kejenuhannya. Dan kemudian merasa hampa dan tak berguna...
Fitrah sosial adalah fitrah yang bakal mengantarkan seseorang untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi. Lebih luas. Dan lebih banyak.
Sebagai ilustrasi, katakanlah soal kenikmatan makan. Bagi orang yang hidup secara individual, kenikmatan makan adalah ketika dia bisa makan enak sampai kenyang.
Akan tetapi seberapa banyak perut kita bisa menampung makanan? Jika kenyang sudah terlampaui, maka makanan itu pun sudah tidak terasa enak lagi. Ia pasti ingin berbagi kenikmatan makan itu dengan orang lain. Misalnya dengan cara menceritakan makanan enak itu kepada orang lain. Entah keluarganya. Entah saudaranya, atau sahabatnya.
Kebahagiaannya akan bertambah ketika orang-orang di sekitarnya ikut merasakan enaknya makanan tersebut, bukan hanya dikasih cerita. Kalau tadinya yang disebut nikmat adalah makan enak dan kenyang untuk diri sendiri, maka kini ia menjadi nikmat ketika bisa melihat orang lain makan enak dan kenyang seperti dirinya. Semakin banyak ia melihat orang lain senang karenanya, semakin senanglah ia. Semakin bahagialah dia.
Di sini kita melihat perbedaan yang sangat mendasar. Ternyata, kenikmatan individual itu demikian terbatas. Dalam contoh di atas - soal makanan - hanya sebatas isi perut. Begitu sudah terpenuhi, maka selesailah kenikmatannya. Mencoba mengejar lagi, mencari makanan yang lain, hasilnya sama saja. Ukurannya adalah kapasitas perut, dan barangkali rasa di lidah. Jika perut sudah penuh, dan lidah sudah berulangkali merasakannya, semuanya bakal selesai. Dan menjadi membosankan.
Contoh ini bisa kita perluas kepada berbagai parameter kenikmatan duniawi. Misalnya, pakaian, perhiasan, rumah, mobil, bahkan hubungan seks. Semua itu, ketika hanya diukur untuk kepentingan individu, kenikmatannya menjadi demikian terbatas.
Pakaian dan perhiasan misalnya. Beberapa lama kita pakai dan kita miliki, sudah bakal membosankan. Pingin ganti yang baru lagi. Namun, begitu kita punya yang baru pun, persoalannya bakal terulang lagi, kita pingin yang baru lagi. Demikian seterusnya.
Ini sama saja dengan rumah dan kendaraan. Awalnya sangatlah senang memiliki rumah yang bagus, atau kendaraan yang mewah. Akan tetapi itu tidak akan bertahan lama. Beberapa bulan atau tahun, semua itu sudah biasa lagi.
Begitulah manusia. Milik orang lain selalu lebih menggiurkan. Karena itu, kita selalu menginginkan apa saja yang belum kita miliki. Dan seringkali segera bosan dengan segala sesuatu yang telah berulangkali kita nikmati. Termasuk dalam urusan seksualitas.
Karena itu, kita harus memahami fenomena ini. Jangan sampai kita terjebak dalam lingkaran setan. Dan kemudian berputus asa dengan sendirinya. Kebahagiaan yang lebih tinggi adalah kebahagiaan yang bersifat sosial. Sumbernya lebih banyak, kualitas kenikmatannya lebih tinggi. Karena, bersumber pada orang lain dan oleh faktor-faktor yang bersifat psikis. Sedangkan pada kebahagiaan individual, sumbernya adalah diri sendiri, dan bersifat materialistik.
Kebahagiaan sosial ini akan semakin tinggi nilainya ketika diniatkan untuk menolong. Didorong oleh perasaan empati dan rasa kasihan kepada penderitaan orang lain.
Sebagai contoh, dalam hal makan. Jika kita memiliki kepedulian alias empati yang dalam kepada penderitaan orang lain, maka kita akan memiliki sumber kebahagiaan yang jauh lebih tinggi nilainya, sekaligus banyak sumbernya.
Kita akan merasa sangat bahagia ketika bisa menolong orang lain yang sedang kelaparan, misalnya. Semakin banyak memberi makan, maka semakin puas rasanya. Semakin bahagialah kita. Dalam hal berpakaian demikian pula, semakin banyak memberi pakaian kepada orang lain sehingga orang itu merasa bahagia, maka semakin bahagia pulalah kita.
Aneh juga ya rasanya. Kebahagiaan kita semakin besar bukan karena menyenangkan diri sendiri, melainkan justru ketika melihat orang lain bahagia karena pertolongan kita. Semakin banyak yang bahagia, semakin bahagia pula kita.
Begitulah memang kebahagiaan sosial terjadi. lni adalah anugerah yang sangat besar dan bernilai tinggi yang diberikan Allah kepada manusia. Karena fitrah yang seperti inilah maka kelangsungan hidup manusia bisa terjaga dengan baik.
Bayangkan, jika manusia sama sekali tidak memiliki fitrah sosial, maka kehidupan manusia bakal musnah lebih cepat dari sekarang, karena nafsu saling menghancurkan. Semuanya berebut untuk kebahagiaan individualnya. Tak ada yang berpikir untuk kebahagiaan bersama. Apa jadinya?
Untungnya Allah memberikan kenikmatan di dalam jiwa sosial kita. Sebagaimana Allah juga menjadikan kenikmatan di dalam jiwa individual. Tinggal, bisakah kita melihat, memahami dan kemudian melakukan aktivitas sosial itu sehingga memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi dalam kehidupan. Sekaligus menciptakan kebahagiaan kolektif dalam keseimbangan.
2 komentar:
bagus banget, orang indonesia punya jiwa seperti ini pasti damai............& so pasti....maju.
Sepertinya warga pancur biru lestari 2 banyak yang kurang pergaulan. Susah diajak bergaul. Tapi saya salut buat abang yang mungkin mau ngajak warganya sadar arti bersosial bermasyarakat, semoga bisa & sukses.
Posting Komentar